Tepat enam bulan sudah Jokowi menempati singgasana kepresidenan negeri ini. Beragam respon muncul dari publik melihat sepak terjang beliau; ada yang puas, ada yang kurang puas tapi tetap optimis dan mendoakannya, namun tidak sedikit juga yang mencemooh. Lucunya, kelompok terakhir justru kebanyakan berasal dari orang-orang yang dulu menyerukan dan menggiring masyarakat untuk memilih beliau. Mereka kecewa karena Presiden Jokowi belum mampu memenuhi ekspektasi besar yang membuncah terhadap sang “Satrio Piningit”.
Kita pun masih teringat jelas bagaimana Jokowi memberikan resep cespleng dalam mengobati kegalauan bangsa Indonesia pasca Reformasi yang telah bergulir selama enam belas tahun ini. Beliau menawarkan Revolusi Mental yang memuat program Trisakti yang beliau kutip dari pemikiran Soekarno.
Setahun sudah semenjak ide Revolusi Mental bergulir, Presiden Jokowi mendapatkan “kado istimewa” dari segelintir siswa SMA di Jakarta yang berencana mengadakan Bikini Party yang bertajuk “Splash after Class” sebagai bentuk “kesyukuran” mereka pasca mengikuti UN. Tentunya, ini adalah pukulan telak bagi Presiden, terutama berkaitan dengan cita-cita beliau dalam menerapkan Revolusi Mental dalam bidang pendidikan dan kebudayaan.
Tulisan ini hendak meneropong betapa sulitnya wacana Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dalam bidang pendidikan dan Kebudayaan, wabilkhusus pasca kejadian Bikini Party. Pertama, penulis akan mengulas konsep Revolusi Mental-nya Jokowi, terutama yang berkaitan dengan poin ketiga Trisakti-nya Soekarno yaitu pembentukan karakter luhur bangsa Indonesia. Selanjutnya, saya akan mengulas tantangan-tantangan yang akan dihadapi dengan mengunakan frame simbolisasi Bikini Party dan ideologi yang melingkupinya.
Revolusi Mental
Sebagai wahana edukasi kampanye, Jokowi menulis sebuah artikel yang bertajuk “Revolusi Mental” di Harian Kompas tanggal 10 Mei 2014. Meskipun beliau mengakui bahwa artikel ini ditulis oleh tim suksesnya, tapi beliau mengklaim bahwa ide tulisan berasal dari dirinya. Namun anehnya, pada saat bersamaan muncul tulisan Romo Benny Susetyo, aktivis KWI, dengan judul yang sama, meskipun konten yang agak sedikit berbeda di Harian Sindo.
Dalam tulisannya, Jokowi menyoroti keadaan bangsa Indonesia yang selalu diliputi kegelisahan dan kegalauan pasca reformasi, meskipun dalam bidang ekonomi dan politik bangsa ini sudah berhasil melakukan perubahan besar. Beliau melihat reformasi yang sudah berjalan hanya sebatas pada tataran institusional; belum masuk pada ranah nation building yang lebih luas dan komprehensif. Walhasil reformasi institusional hanya berpengaruh pada aspek luarannya (surface) saja.
Jokowi menuding bahwa penerapan ideologi liberalisme menjadi kunci dari kegagalan reformasi. Selama ini masyarakat mengadopsi ideologi ini secara liar dan masif dalam pelbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi dan hal yang paling mendasar; budaya dan karakter bangsa. Seiring dengan derasnya arus informasi dan hegemoni Barat terhadap bangsa ini, masyarakat semakin adaptif dengan budaya asing, yang justru, menurut Jokowi, sangat kontradiktif dengan nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia.
Sebagai solusi dari kegagalan agenda reformasi ini, Jokowi menawarkan konsep Trisakti ala Soekarno, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Khusus pilar terakhir, Jokowi melihat pendidikan memiliki posisi yang vital dalam pembentukan identitas bangsa Indonesia yang beradab dengan berlandaskan pada nilai-nilai agama dan moral.
Ideologi “Bikini Party”
Tanggal 22 April silam, publik dihebohkan dengan tayangan iklan di Youtube yang mengundang siswa kelas XII SMA untuk melakukan perayaan pasca UN dengan konsep Bikini Party di sebuah hotel ternama di kawasan Gunung Sahari Raya Jakarta. Kontan saja, iklan ini memantik protes publik karena mengajak siswa SMA untuk melakukan hal-hal yang kontradiktif dengan budaya luhur bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai agama dan etika ketimuran.
Dalam iklannya peserta yang membayar paket tertentu akan disuguhi hiburan dengan fasilitas DJ, pool party, minuman keras dan hal lain standar night clubbing. Tentu bisa kita tebak, pesta ini akan berujung pada praktek seks bebas.
Pesta Bikini tidaklah sesederhana perayaan pasca UN seperti yang diklaim oleh Divine Production, Event Organizer yang bertanggungjawab terhadap acara ini. Mereka menganggap bahwa ini hanyalah sebuah penawaran bagi siswa SMA untuk mengadakan pesta pelepas penat pasca perjuangan menghadapi UN selama berbulan-bulan. Sejatinya, kegiatan memuat nilai-nilai dan filsafat hidup yang sangat bertolak belakang dengan karakter bangsa Indonesia seperti yang termaktub dalam gagasan Revolusi Mental-nya Jokowi dan Trisakti-nya Bung Karno.
Pesta Bikini adalah pengejawantahan dari ideologi liberalisme yang mengusung kebebasan dalam berpikir dan bertindak dengan melabrak nilai-nilai yang sudah established di masyarakat. Kita bisa melihat, atas dalih kebebasan individu, pesta tersebut memuat kegiatan-kegiatan yang sangat kontras dengan moral agama dan etika ketimuran seperti pesta minuman keras, free sex, berbusana minim dan lain sebagainya. Acara ini adalah representasi dari budaya liberal Barat yang sangat support terhadap kebebasan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma yang sudah berlaku di masyarakat.
Selain itu, pesta bikini juga memuat paham hedonisme yang menjunjung tinggi kesenangan dan kepuasan hidup tiap individu. Alih-alih melakukan syukuran atas selesainya persiapan menghadapi UN, mereka lebih memilih untuk bersenang-senang dengan melampiaskan hawa nafsu mereka dengan minuman keras dan seks bebas. Kegiatan ini adalah contoh nyata merebaknya budaya hedonis di kalangan remaja Indonesia.
Terakhir, pesta bikini kentara dengan nilai-nilai paham materialisme yang lebih mengagungkan materi daripada non-materi. Para pelajar kita lebih memilih melakukan pesta yang mengumbar syahwat, aurat dan hal-hal yang menjunjung materi lainnya, daripada melakukan kegiatan-kegiatan spiritual seperti tasyakuran, selametan, dan hal positif lainnya yang sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat kita. Tentunya ketiga ideologi di atas sangat jauh dari norma-norma dan nilai-nilai yang mendasari kepribdian bangsa Indonesia luhur.
Tantangan Berat
Simbolisasi Bikini Party dan ideologi yang melingkupinya akan menjadi tantangan berat bagi program Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang baru digagas oleh Pemerintahan Jokowi. Beberapa waktu lalu DPR menyetujui anggaran tambahan sebesar Rp. 149 Milyar dalam APBN-P 2015 untuk GNRM yang berfokus pelatihan dan lokakarya dalam bidang reformasi birokrasi, pendidikan dan kebudayaan (Detikcom, 30/4). Apabila GNRM hanya berisi ceramah dan lokakarya saja, tanpa ada tindakan dan contoh nyata dari pemerintah, saya khawatir ini akan menjadi pepesan kosong, sebagaimana Soeharto yang mencanangkan BP7, akan tetapi mengkhianati cita-cita Pancasila itu sendiri. Wallahu a’lam.