Sesaat ketika kita lahir ke dunia, suara azan menggema. Orang tua pun menyambut sang bayi dengan penuh suka cita. Bayi yang sudah mereka tunggu selama kurang lebih sembilan bulan akhirnya keluar batang hidungnya. “Selamat datang ke dunia ini, nak,” mungkin ucapan itu yang terbersit dalam bibir orang tua kita.

Masa kecil kita lalui dengan penuh canda dan tawa; bermain tanpa beban dengan teman-teman sebaya. Saat menginjak umur lima, kita mengenal dunia sekolah. Di sana kita mendapatkan doktrin-doktrin normatifsupaya giat belajar; agar bisa menjadi orang sukses, mendapatkan apa yang kita cita-citakan.

Beranjak dewasa, kita masuk dunia kuliah, belajar kemandirian dengan meninggalkan orang tua kita. Banyak yang pergi melintasi kota untuk meraih cita-cita. Tentunya universitas negeri favorit menjadi buruan, karena “menjanjikan” masa depan yang lebih cerah. Berbagai usaha kita dapatkan untuk bisa mendapatkan kursi di PTN, baik dengan mengikuti pengayaan, bimbingan belajar, sampai belajar siang dan malam tanpa henti.

Di bangku kuliah, bukan ilmu yang kita dapatkan, melainkan jejalan doktrin tentang bagaimana sukses mendapatkan pekerjaan prestisius, meraih gaji layak dan karir cemerlang. Pelbagai acara kita ikuti dari bursa kerja, pelatihan soft skill, carrer coach, sampai inkubasi wirausahawan. Saya kira hanya sedikit kampus  yang memberikan pelatihan tentang bagaimana berkiprah positif di masyarakat.

Singkat cerita, paska kuliah kita mendapatkan pekerjaan. Lalu kita melamar gadis idaman dan mengikat janji dalam institusi pernikahan. Beberapa tahun kemudian kita mendapatkan anugerah momongan, cucu dan cicit. Masa tua pun datang, dan anak-anak sudah tidak tinggal bersama kita lagi. Kita tinggal menunggu kapan Izrail, sang pencabut nyawa, menjemput kita ke alam keabadian.

***

Sekilas, tidak ada yang salah dengan siklus kehidupan di atas, dan memang mayoritas manusia menjalaninya. Namun, apabila kita amati lebih jauh lagi, terutama merujuk bagaimana Islam, agama kita, memandang relasi antar manusia, ada satu hal yang luput dalam siklus kehidupan tersebut; bagaimana hidup kita memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar. Siklus kehidupan mainstream tersebut memperlihatkan sosok egois dari manusia.

Sungguh tepat apabila kita merenungi sindiran keras dari Intelektual Muslim kontemprer, Buya Hamka, tentang tipikal orang seperti ini. Dalam memoarnya, beliau pernah mengatakan, “Jika hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika bekerja hanya sekedar bekerja, kera juga bekerja.”

Lagian, jika kita mau menghayati lebih dalam hikmah dalam ajaran agama kita, banyak sekali hal yang seharusnya menggerakkan diri kita untuk hidup dengan berkontribusi positif bagi orang lain. Bukankah hikmah ritual shaum Ramadhan itu untuk menumbuhkan rasa empati terhadap orang yang kurang mampu? Dan tentunya kita sudah tahu hadits tentang deskripsi manusia terbaik dalam perspektif Nabi Muhammad SAW; yaitu mereka yang bermanfaat bagi orang lain. 

Suatu ketika KH. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Gontor pernah ditanya oleh seorang wartawan tentang profil alumni Gontor yang sukses dalam kacamata beliau. Beliau pun menjawab, “Bagi saya seorang alumni yang berada di desa terpencil dan mengajar ngaji di sebuah surau kecil, itulah alumni yang sukses.” Jawaban yang sederhana, akan tetapi mengandung makna yang cukup dalam; betapa kita tidak boleh hidup egois, setinggi-tingginya kita melangkah, tidak boleh lupa untuk membimbing umat menuju arah yang lebih baik. (abu aufa)