Oleh : M. Syahrul Z. Romadhoni, S.Pd.
November 1945. Kala itu pemerintah kolonial Belanda hendak mencengkramkan kekuasaannya kembali di Indonesia pasca kalahnya Jepang dalam perang dunia kedua. Namun, untuk mengelabui rakyat Indonesia mereka menumpang pasukan sekutu yang dikomandoi Inggris dengan misi melucuti senjata Jepang yang kalah perang. Masyarakat Indonesia, yang tahu muslihat ini, bereaksi segera dengan menguasai gudang persenjataan milik Jepang, dan merebut senjata-senjata yang ada untuk memperkuat milisi republik.
Mendengar kabar penguasaan gudang senjata milik Jepang, pasukan sekutu berang. Mereka mengultimatum rakyat Indonesia untuk mengembalikan senjata-senjata tersebut plus ancaman agresi militer apabila rakyat mengabaikannya. Rakyat pun memilih untuk menumpahkan darah mereka daripada berkalang tanah, terperosok lagi ke jurang penjajahan untuk kesekian kalinya.
Pertempuran pun tak dapat dihindarkan, apalagi pasca meninggalnya komandan pasukan Inggris, AWS Mallaby di Jembatan Merah Surabaya. Pasukan sekutu mengerahkan pasukan maksimalnya, memborbardir kota Surabaya. Perang ini terjadi selama tiga minggu berturut-turut – padahal prediksi pasukan sekutu sebelumnya hanya akan berlangsung selama tiga hari saja – dengan korban enam ribu lebih dari pejuang republik, dan dua ribu tentara dari pihak musuh.
Soemarsono, salah satu pejuang yang masih hidup dan mengikuti perang ini menggambarkan dahsyatnya pertempuran Surabaya. Menurut dia, pergi dalam perang ini hanya dua pilihan; pulang dengan keadaan hidup, atau meninggal karena gempuran pasukan sekutu. Ini bisa dilihat dari tingginya korban dari pihak republik, lebih dari enam ribu dari seratusan ribu pejuang Indonesia harus gugur dalam pertempuran ini.
Meskipun pada akhirnya Kota Surabaya jatuh ke tangan pasukan sekutu, tapi pertempuran ini tidaklah sia-sia. Pertempuran ini menjadi momentum konsolidasi dari seluruh elemen bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan. Bahkan, KH. Hasyim As’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, sebulan sebelumnya merasa perlu untuk mengeluarkan resolusi jihad dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka cicipi dalam hitungan bulan.
Tentunya, pertempuran Surabaya sangat sayang apabila kita lihat dari kacamata pertempuran fisiknya saja, apalagi even tersebut selalu kita peringati sebagai hari pahlawan. Ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari momentum tersebut yaitu signifikasi nilai-nilai kepahlawanan para pahlawan yang rela mengorbankan harta, nyawa dan keluarga mereka untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas. Mereka tahu konsekuensi yang akan mereka dapatkan; meninggal dalam pertempuran dan tidak mencicipi nikmatnya hidup dalam ruang kemerdekaan. Akan tetapi mereka sadar, harus ada yang berkorban apabila anak cucu mereka bisa merasakan nikmatnya kemerdekaan di kemudian.
Hal ini menjadi relevan untuk kita angkat, melihat kondisi bangsa ini yang sedang sakit karena semakin terkikisnya kesadaran sejarah dalam benak anak bangsa. Dr. Sardiman AM, pakar pendidikan sejarah UNY, melihat bahwa fenomena pemimpin korup dan elit yang berkhianat, mungkin salah satu penyebabnya adalah hilangnya kesadaran sejarah bangsa, terutama pengorbanan para pahlawan, sehingga mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja, dan mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.
Saat momentum hari pahlawan ini, sungguh tepat apabila kita mengangkat kembali wacana gerakan penanaman nilai-nilai kepahlawanan, sehingga Indonesia bisa menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat, keluar dari lobang keterpurukan yang mendera selama tujuh puluh tahun kemerdekaan.
Hakikat Nilai-nilai Kepahlawanan
Hakikat dari jiwa kepahlawanan adalah kesediaan untuk mengorbankan ego dan keinginan pribadi untuk kepentingan yang lebih luas. Dan ternyata Islam menjadikan sifat ini sebagai salah satu karakteristik manusia terbaik. Tentunya kita sudah mengetahui hadits Nabi saw yang berbunyi, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.” Hadits ini menunjukan keutumaan sikap altruism, mengutamakan kepentingan orang lain, dan mengakhirkan ego pribadi.
Deskripsi manusia terbaik nampak jelas tergambar dari para pahlawan yang mengorbankan nyawa dan harta mereka untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik ini. Meskipun mereka sadar tidak akan mencicipi nikmatnya kemerdekaan, tapi mereka paham bahwa perjuangan mereka tidak akan sia-sia. Akan ada anak dan cucu mereka yang menikmati hasil jerih payah ini, akan ada jutaan rakyat Indonesia yang hidup dalam udara kemerdekaan.
Jiwa ini pulalah yang melekat dalam dada para founding fathers pesantren-pesantren besar di Indonesia. Pondok Modern Gontor, misalnya, memiliki trimurti; KH. Ahmad Sahal, KH. Zainduddin Fanani dan KH. Imam Zarkasyi, yang rela berjibaku di pondok, menolak tawaran yang lebih menggiurkan untuk berkarir di pemerintahan. Pernah suatu saat, ketika masa pemberontakan PKI yang berakibat kiriman dari orang tua untuk para santri terhambat, Pak Sahal menggadaikan mahar nikah istrinya untuk keperluan makan para santri. Begitulah perjuangan para kyai, mengorbankan apa yang mereka miliki, untuk kepentingan yang lebih besar.
Pada titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa jiwa kepahlawanan (baca: pengorbanan / altruism) adalah kunci kesuksesan dalam membangun bangsa. Kenapa bisa begitu? Karena dengan jiwa inilah egoisme yang merupakan momok bagi keberhasilan perjuangan akan terkikis dan berganti menjadi kesediaan untuk mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi. Jika saja para politikus kita memiliki jiwa ini, tentu kekisruhan dalam perpolitikan yang kita selama ini tidak akan terjadi. Yang ada adalah sikap saling bahu membahu, saling menambal kekurangan untuk membangun Indonesia yang kuat dan bermartabat di mata dunia.
Lebih jauh lagi Dr. Kabul Budiman mengatakan bahwa jiwa kepahalawanan mengandung unsur-unsur keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patrotisme. Para pahlawan kita adalah sosok teladan yang patut kita hayati dan tiru pengorbanannya. Mereka rela berkorban lillahi ta’ala karena cinta terhadap tanah air dan anak cucu mereka. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk merjaut kebersamaan, menghindari perpecahan untuk meraih kemenangan bersama. Mereka juga yakin bahwa di hadapan Tuhan, manusia adalah setara, jadi tidak ada perlu orang yang menindas dan ditindas, tidak perlu ada orang yang menjajah dan dijajah. Mereka sangat mencintai tempat di mana mereka lahir dan siap untuk mati dalam mempertahankan hak dasar yang mereka dapatkan dari Allah swt.
Atas dasar inilah, momentum kali ini sangat tepat untuk menggali dan menerapkan nilai-nilai kepahlawanan yang telah diteladankan oleh para pahlawan kita dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini juga membuktikan penghormatan kita pada perjuangan mereka, seakan kita membuktikan bahwa perjuangan mereka tidaklah pernah sia-sia. Kita akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memperbaiki diri, keluarga, masyarakat dan negara kita.
Menebar “Virus” Kepahlawanan
Mengingat pentingnya nilai kepahlawanan ini dalam perbaikan bangsa, tentu kita harus berpartisipasi dalam menyebarkan “virus” ini ke orang-orang di sekitar kita. Tentunya, langkah awal yang dapat kita lakukan adalah memulainya dengan kesadaran diri sendiri. Dalam istilah Aa Gym, “Dimulai dari diri sendiri”. Sebagai homo sapiens, kita dianugerahi kemampuan berpikir untuk menginternalisasikan nilai ini dalam jiwa kita, sehingga tumbuh berkembang menjadi sebuah positive habit, kebiasaan yang positif, dan pada titik tertentu menjadi karakter kepribadian kita.
Salah satu kiat dalam menumbuhkan kesadaran dalam menginternalisasikan jiwa kepahlawanan dalam hidup kita adalah dengan membangkitkan motivasi intrinsik, motivasi yang berasal dari faktor internal. Motivasi ini, menurut Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA, pakar teori administrasi, terdiri dari: persepsi seseorang mengenai diri sendiri, harga diri, harapan pribadi, kebutuhan, keinginan, kepuasan kerja, dan prestasi kerja yang dihasilkan.
Untuk itu, jika ketika kita ingin mencoba menginternalisasikan jiwa kepahlawanan dalam diri kita, hendaknya memiliki persepsi yang baik tentang hal tersebut. Kita harus yakin bahwa nilai tersebut akan meningkatkan harga diri dan harapan pribadi kita. Tatlaka itu tercapai maka akan bertransformasi menjadi kebutuhan dan keinginan yang mana apabila dapat kita capai akan menjadi sebuah kepuasan dan bagian dari prestasi dalam hidup kita.
Setelah berhasil membina jiwa kepahlawanan dalam diri pribadi, alangkah lebih baiknya kita menyebarkan nilai ini ke orang-orang yang ada di sekitar kita, misalnya saja keluarga yang hidup paling dekat dengan kita. Misalnya saja kita orang tua yang memiliki anak, maka ada beberapa langkah dalam menginternalisasikan nilai positif ini kepada anak-anak. Langkah-langkah tersebut menurut Dr. Helmawati, staf pengajar Uninus Bandung, terdiri dari metode keteladanan, metode percontohan, metode pembiasaan, metode pengulangan, metode pelatihan, dan metode motivasi.
Tentunya orang tua harus menjadi teladan atau contoh dalam menerapkan nilai kepahlawanan dalam kehidupan sehari-hari. Ayah misalnya bekerja keras siang dan malam adalah untuk kepentingan keluarga secara menyeluruh, bukan saja untuk kepentingan pribadi. Tentunya, hal itu bisa menjadi contoh atau sikap teladan bagaimana sang Ayah menumbuhkan jiwa kepahalawanan untuk kesejahteraan keluarga. Bisa saja misalnya, kita sebagai orang tua menerangkan hal ini kepada anak-anak kita.
Selain menjadi contoh / teladan yang baik, kita juga bisa melatih anak-anak kita untuk berjiwa pahlawan dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kita berikan mereka tugas untuk melakukan pekerjaan rumah sehari-hari, yang mana hal itu bukan saja untuk kepentingan dia pribadi, tapi juga untuk kepentingan semua penghuni rumah. Saya kira tidak tepat kalau kita hanya memberikan beban untuk membersihkan kamarnya saja, karena justru ini akan membangun sikap egoisme dalam diri mereka.
Pemberian teladan baik dan pembiasaan tidaklah cukup, tanpa dibarengi dengan motivasi terus menerus dari orang tua. Macamnya bisa berbeda-beda, entah itu dengan kata-kata, atau hal-hal yang membuat mereka merasakan bahwa nilai kepahlawanan dan pengorbanan adalah memang salah satu sifat mulia yang harus kita tanamkan dalam diri kita.
Lalu bagaimana menanamkan jiwa kepahlawan pada level sekolah? Usaha dasar yang selama ini berkembang adalah dengan menginternalisasikannya dalam pengajaran di kelas. Misalnya, Dr. Sardiman AM, pakar pendidikan sejarah UNY, mengusulkan untuk memasukan nilai spiritualisme dalam pembelajaran sejarah. Dia memaparkan bahwa dalam kejadian-kejadian bersejarah masa lampau, terdapat nilai-nilai spiritualisme yang dapat guru internalisasikan dalam benak anak-anak. Sejarah bukan saja tentang data dan fakta, tapi juga pelajaran moral dan penafsirannya. Tentunya, hal ini pun dapat kita gunakan dalam menginternalisasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam pelajaran sejarah.
Usaha lain adalah dengan menggunakan metode-metode pembelajaran yang bisa menghadirkan nilai kepahlawanan dalam pengalaman belajar anak. Dalam tulisannya di Surat Kabar Suara Merdeka, Galih Suci Pratama memaparkan bahwa metode role play sangat tepat untuk menginternalisasikan nilai-nilai kepahlawanan dalam diri anak-anak. Dengan begitu, pembelajaran di kelas tidak hanya berkutat pada penyebaran informasi tapi juga penanaman nilai-nilai luhur kepada diri anak.
Usaha-usaha tersebut penting untuk stakeholders lakukan di dalam lingkungan sekolah. Tapi itu saja tidak cukup. Perlu ada usaha yang lebih luas untuk melakukannya. Doni Koesoema, pakar pendidikan karakter, menyebutkan bahwa usaha internalisasi pendidikan karakter, dalam hal ini karakter kepahlawanan, memerlukan sebuah usaha yang sistematis dalam arti dari hulu ke hilir dan berkelanjutan dalam artian dilakukan secara terus menerus melalui proses evaluasi berkala.
Pertama kali sekolah harus mencanangkan pendidikan karakter dalam visi dan misi mereka. Jangan sampai hal tersebut hanya mencakup ranah kognisi atau intelektual saja. Setelah itustakeholders harus menyosialisasikan sikap ini dalam berbagai media, misalnya pamflet, banner,even upacara, rapat guru, rapat siswa, rapat wali murid dan lain sebagainya. Yang lebih penting, harus ada usaha-usaha konkrit dalam praktek pendidikan yang mengarah pada penanaman nilai kepahlawanan, sehingga gerakan ini tidak hanya sekedar menjadi lips service.
Apa yang dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren Condong dan pembantu-pembantunya dalam hal penanaman nilai dan karakter mulia, termasuk nilai-nilai kepahlawanan dan pengorbanan, bisa kita ambil contoh. Pertama kali, pesantren telah mengambil kebijakan dengan memasukan unsur akhlak mulia dalam visi pesantren yang kemudian dikejawantahkan dalam misinya. Setelah itu mereka memerincinya dalam falsafah pesantren seperti panca jiwa dan pilar-pilar perjuangan. Upaya sosialisasi pun mereka lakukan dengan berbagai macam cara seperti pekan perkenalan khutbatul arsy, workshop kepesantrenan, upacara dan apel pagi, kamisan, pertemuan wali murid, penerbitan media berkala, pamflet, dan lain sebagainya. Tak cukup disitu, pesantren juga menerjemahkan nilai ini dalam keseharian guru dan murid.
Di Pesantren Condong, untuk membina jiwa kepahlawanan dan pengorbanan, santri senior mendapatkan amanat untuk ikut serta dalam membantu pondok dalam berbagai hal; ada yang menjadi pengurus asrama, pengurus bagian bahasa, staf keamanan pondok, staf administrasi, staf unit usaha, dan lain sebagainya. Beban ini sangat berat untuk santri seumuran mereka, bahkan dalam beberapa kesempatan harus mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan yang lebih luas. Misalnya, ketika masa libur tiba, santri senior harus tinggal di pesantren sebagai bentuk pembisasaan dalam mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Dengan sistem seperti ini, Insya Allah para santri memiliki jiwa kepahlawanan dan pengorbanan (alturism) yang tinggi, sehingga ketika sudah berkiprah di masyarakat tidak hanya mementingkan pribadi, juga berkontribusi positif bagi kepentingan masyarakat luas.
Jika penanaman nilai kepahlawanan ini telah sistematis terbentuk dari dalam diri sendiri sampai pada level sekolah, Insya Allah akan terbentuk masyarakat yang siap untuk mengorbankan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dengan begitu, negara Indonesia yang kuat dan bermartarbat bukanlah mimpi di atas mimpi.
Sebagai penutup, penulis kutip penggalan wejangan KH. Ahmad Sahal, salah satu pendiri Gontor tentang pentingnya sikap untuk memikirkan orang lain. Beliau berkata,
“Anak-anakku sekalian … Jangan kecil hati. Jangan edan-edanan. Saya tidak anti, kalau nanti anak-anakku menjadi Mahasiswa, menjadi sarjana, kemudian jadi pegawai, jadi buruh, gajinya sebulan Rp. 25 000,- sampai Rp. 50 000,-. Tetapi jangan kesana tekanannya. Jangan terlalu menggaris bawahi kesana, sampai-sampai lupa kepada tugasnya.
Kalau orang sudah menjadi pegawai (ini tidak semua, ini tidak semua, tapi pada umumnya) mati otaknya. Sudah sekolah setengah mati, masuk Tsanawiyah, terus ke Gontor, terus menjadi Mahasiswa, akhirnya menjadi pegawai, lupa segalanya.
Kitabnya tidak dibaca lagi, tabligh tidak mau, nasib rakyat tidak dipedulikan. Hanya mengumpul dengan anak istrinya, KHIANAT……. KHIANAT…….Hanya akan menghitung-hitung tanggal berapa ini, kurang berapa hari sebulannya, kapan naik pangkatnya, kapan naik gajinya, kapan ini, kapan itu. Hidupnya jor-joran dengan kawan-kawannya. NA’UDHUBILLAH…….” Wallahu a’lam.