Dewasa ini, layar kaca kita diramaikan dengan munculnya para dai yang mengisi program-program keagamaan di berbagai stasiun televisi. Dari yang serius, sampai yang hanya berisi candaan nir makna. Konten ceramahnya pun beragam, ada yang bersumber langsung dari al-Quran, al-Hadits dan kutubut-turats, namun ada juga yang hanya ramuan gado-gado yang diselipi joke sang penceramah. Hanya saja, yang eksis biasanya adalah yang terakhir; yang porsi banyolannya mengalahkan konten esensialnya.
Background penceramahnya pun bermacam-macam. Ada yang memang bertitel kyai haji dan professor, namun ada juga hasil karbitan ajang pencarian bakat penceramah agama. Bahkan ada juga yang berasal dari kaum selebritis yang banting setir jadi penceramah. Yang terakhir, biasanya cukup bermodalkan paras ganteng atau cantik, cukup fasih membacakan kalimat bahasa Arab, tahu beberapa kata mutiara dan beberapa ayat al-Quran dan al-Hadits yang masyhur. Masalah kedalaman pemahaman agama itu nomor sekian. Anehnya, eksistensi golongan ini justru mengubur penceramah yang memang sepanjang hidupnya mereka dedikasikan untuk menggali khazanah keilmuan Islam.
Seiring menjamurnya undangan dari berbagai stasiun televisi dan elemen masyarakat, pundi-pundi rupiah mereka pun menumpuk. Walhasil mereka tidak mampu untuk menahan godaan untuk hidup bermewah-mewahan. Lihat saja bebebrapa dai selebriti, istilah populer untuk golongan ini, memilliki mobil dan motor premium berharga milyaran. Maka, untuk menunjang gaya hidupnya yang terlanjur mewah, segala macam cara mereka tempuh. Salah satunya adalah dengan mematok harga mahal sekali mereka datang pada satu tempat. Ketika ada dua jadwal yang bertubrukan, maka yang berani bayar lebih mahal yang lebih mereka utamakan. Ini bukanlah sekedar cerita khayalan, karena beberapa waktu lalu gencar diberitakan seorang ustadz yang gagal ceramah di suatu tempat karena tidak ada kesepakatan mengenai harga dengan pengundangnya. Ironis.
Tentu, saya tidak bermaksud menggeneralisir permasalahan karena toh kita masih melihat sekumpulan orang yang memang ikhlas mendarma baktikan hidup mereka untuk menyebarkan risalah Islam, membumikan al-Quran dan mengenalkan Allah kepada masyarakat marjinal.
Lihatlah contoh ustadz Abdul Qodir, seorang pendakwah mukhlis yang datang ke daerah Batu Tulis, Nusa Tenggara Timur untuk menyebarkan risalah Islam di sana. Anda bisa membayangkan, ustadz Abdul datang ke tempat antah berantah dengan bekal seadanya dan mendapatkan tugas berat untuk membangun surau, madrasah, pesantren dan mengenalkan Allah swt kepada masyarakat sekitar. Tentunya tugas ini sangat berat, mengingat bagaimana beliau menghadapi resistensi masyarakat, masalah finansial untuk membangun dan bertahan hidup serta metode yang tepat untuk berdakwah. Alhamdulillah-nya, ustadz Arif pantang menyerah. Setelah sekian tahun berjibaku dalam kesulitan, kini hasilnya boleh dia tuai. Surau dan madrasah berdiri. Masyarakat sekitar mulai mengenal Allah swt, dan beberapa dari mereka ridha untuk menjadikan Allah swt sebagai Tuhan mereka. Tentu, perjuangan belum lah usai, karena masih banyak tujuan-tujuan yang belum tercapai.
Lihatlah bagaiman kontrasnya gambaran sang pendakwah golongan pertama dan kedua. Kelompok pertama bergelimangan kemewahan, ketenaran, harta, wanita, ekpos media dan pujian dari masyarakat. Sedangkan yang kedua penuh dengan kesederhanaan, kesulitan hidup, kesabaran, kesunyian dan keikhlasan dalam berjuang. Mereka memilih Allah swt lah yang memberikan mereka balasan atas pengabdiannya kepada-Nya.
Dan ternyata, Allah swt mengecam orang yang termasuk golongan pertama seperti tersurat dalam Q.S. At-Taubah ayat 9. Allah swt sangat mengecam orang-orang yang menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga sedikit / murah. Maksudnya mereka yang menjual ayat-ayat Allah dan mendelegimitasinya untuk kepentingan duniawinya. Bagi mereka ayat-ayat al-Quran adalah sebuah komoditas yang bisa mereka jual murah untuk mendapatkan harta yang melimpah dan kehidupan yang bergelimang kemewahan. Na’udzubillahi min dzalik. (Abu Aufa)